Sindrom Down : Aku Ada .... Aku Bisa ......

March 31, 2021
         

Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering ditemukan pada anak, di seluruh dunia angka kejadiannya diperkirakan 1 dari 700 kelahiran. Sindrom Down bukanlah penyakit karena terjadi akibat kelainan/penyimpangan genetik yang kompleks, sehingga anak dengan sindrom Down disebut sebagai penyandang sindrom Down. Kelainan genetik pada sindrom Down terjadi akibat kesalahan dalam pembelahan sel yang disebut "nondisjunction". Bayi normal memiliki total jumlah kromosom sebanyak 46 karena menghasilkan dua salinan kromosom, namun pada penyandang sindrom Down menghasilkan 3 salinan kromosom pada kromosom 21 sehingga penyandang sindrom Down memiliki total jumlah kromosom sebanyak 47 kromosom.

Sekitar 95% penyandang sindrom Down memiliki tipe kromosom trisomi 21 yang terjadi secara sporadik, artinya tidak diturunkan oleh kedua orangtua. Namun, sekitar 4% kasus Down memiliki kelainan kromosom berupa translokasi, yakni terdapat tambahan kromosom 21 yang melekat pada kromosom lain, biasanya melekat pada kromosom 14, berbeda dengan sindrom Down lainnya, translokasi dapat diturunkan dari orangtua. Tipe mosaik ditemukan pada 1% kasus sindrom Down, pada tipe mosaik, seseorang hanya memiliki beberapa sel dengan salinan tambahan dari kromosom 21, sehingga tipe mosaik memiliki karakteristik klinis sindrom Down yang paling ringan dibandingkan dengan tipe lainnya.

Diagnosis pasti sindrom Down dilakukan dengan melakukan pemeriksaan analisis kromosom, selain untuk diagnosis, pemeriksaan analisis kromosom juga penting untuk mengetahui risiko berulangnya memiliki anak dengan sindrom Down pada kehamilan berikutnya, khususnya jika memiliki anak pertama sindrom Down dan/atau usia ibu ketika melahirkan masih muda.

Mengapa Ayah dan Ibu bisa memiliki anak dengan sindrom Down? Hingga saat ini diketahui bahwa usia ibu melahirkan di atas 35 tahun memiliki risiko tinggi, semakin tinggi usia ibu melahirkan maka risikonya juga akan semakin meningkat. Selain hal tersebut, faktor risiko lainnya adalah memiliki anak dengan sindrom Down pada kehamilan sebelumnya serta ayah dan/atau ibu memiliki riwayat saudara kandung dengan sindrom Down. Paparan zat kimia pada lingkungan ibu hamil juga diketahui merupakan faktor risiko memiliki anak sindrom Down. Selain beberapa faktor risiko di atas, sebagian besar kasus sindrom Down bisa terjadi secara acak tanpa memandang usia, riwayat keturunan, usia ibu, dan hal lainnya. Dengan demikian, sebenarnya setiap orang ternyata memiliki risiko memiliki anak dengan sindrom Down.

Skrining sindrom Down prenatal dilakukan pada ibu yang memiliki risiko tinggi memiliki anak sindrom Down. Skrining dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kadar pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A), human chorionic gonadotropin (β-hCG), alpha-feto-protein (AFP), unconjugated estriol, dan inhibin A. Pemeriksaan USG berperan untuk menilai ketebalan nuchal translucency (NT) janin, yaitu daerah di bawah tengkuk janin yang terisi cairan, NT biasanya akan menebal pada bayi dengan sindrom Down. Pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS) dan amniosentesis merupakan pemeriksaan yang invasif, dan memiliki risiko ibu mengalami keguguran. Non-invasive prenatal testing (NIPT) merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan saat ini karena tidak invasif, aman, dan tidak mengakibatkan keguguran bayi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan setelah usia kehamilan 9 minggu dengan memeriksa DNA janin pada serum darah ibu, sehingga bisa mendeteksi sindrom Down lebih dini.

Bagaimana kita mengetahui seorang bayi mengalami sindrom Down? Penambahan atau ekstra kromosom 21 menyebabkan penyandang sindrom Down memiliki karakteristik fisik yang hampir sama, namun dengan kemampuan belajar, motorik, bahasa, dan perilaku yang berbeda-beda pada setiap anak. Tanda dan gejala klinis yang muncul juga bervariasi, mulai dari yang tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Semakin dini kita mengenali gejala sindrom Down pada bayi, maka semakin dini diagnosis dan intervensi yang dapat dilakukan terhadap masalah kesehatan lainnya yang sering menyertai sindrom Down, hal ini memberikan manfaat yang sangat besar untuk menunjang tumbuh kembang bayi yang optimal. Untuk kemampuan belajar, derajat gangguan kognitif bervariasi, dari yang ringan (IQ 50 –70), sedang (IQ 35–50), atau berat (IQ 20 –35). Selain variasi dalam gangguan belajar, juga ditemukan variasi dalam keterlambatan perkembangan motorik seperti duduk, berdiri, berjalan, dan kemampuan berbicara.

Penyandang sindrom Down juga memiliki beberapa masalah kesehatan yang sering menyertai dan dapat mengganggu tumbuh kembangnya jika terlambat penanganan. Beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai adalah gangguan pendengaran (75%), obstructive sleep apnea (50%–79%), radang telinga tengah (50%–70%), kelainan mata (60%) termasuk katarak (15%) dan gangguan refraksi (50%), penyakit jantung bawaan (50%), gangguan neurologis (1%– 13%), masalah saluran cerna (12%), dislokasi panggul (6%), gangguan tiroid (4%–18%), dan yang jarang leukemia (1%) serta penyakit Hirschsprung (<1%). Masalah kesehatan tersebut penting untuk dideteksi sedini mungkin dan dievaluasi secara rutin agar intervensi pengobatan dapat segera dilakukan, dengan demikian proses tumbuh kembang anak sindrom Down dapat berjalan optimal.

Intervensi ataupun tatalaksana yang dilakukan pada penyandang sindrom Down bukanlah bertujuan untuk menyembuhkan sindrom Down karena kelainan genetik memang tidak bisa disembuhkan, namun intervensi yang dilakukan sejak dini terhadap masalah kesehatan yang ditemukan pada anak bermanfaat untuk menunjang tumbuh kembangnya agar bisa berjalan optimal. Tujuan utama tatalaksana yang dilakukan pada anak sindrom Down adalah untuk melatih kemandirian dan menunjang kualitas hidup anak yang lebih baik. Pada sebagian besar anak membutuhkan dukungan terapi seperti fisioterapi, terapi wicara, okupasi, dan terapi perilaku untuk menunjang tumbuh kembangnya yang optimal. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan anak penyandang sindrom Down rentan terhadap diskriminasi sosial akibat masih terbatasnya informasi yang diterima masyarakat tentang sindrom Down, dalam hal ini, dukungan dan cinta kasih dari seluruh anggota keluarga sangat penting untuk meningkatkan rasa percaya diri dan menjadi motivasi anak untuk mau dan mampu berperan dalam kehidupan sosial sesuai potensi yang dimilikinya.

Untuk orang tua anak penyandang sindrom Down, sangat dianjurkan untuk bergabung dan berperan secara aktif dalam komunitas sindrom Down di Indonesia, yakni POTADS (Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome), dengan bergabung di dalam komunitas yang sama, maka orang tua dapat saling berbagi informasi dan pengalaman dalam mengasuh buah hati, saling mendukung, sehingga pada akhirnya akan saling menguatkan, menjadi lebih percaya diri, bahagia, dan bersyukur diberikan anugerah anak yang begitu istimewa.

Dukungan dan kasih sayang dari seluruh keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan anak-anak penyandang sindrom Down oleh karena mereka layak untuk hidup bahagia, produktif, dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat.

Aku ada…. Aku bisa....